Senin, 23 Juni 2008

Konsep Pembangunan PLTU Batubara Skala Kecil, by Tata Sutardi (www.ccitonline.com)

Konsep Pembangunan PLTU Batubara Skala Kecil : Suatu Kebutuhan dan Tantangan untuk Meningkatkan Kapasitas Bangsa indonesia
By: Tata Sutardi on: Sun 13 of Apr, 2008 (www.ccitonline.com)

Tidak ada cara lain untuk mencegah terjadinya krisis listrik di negara ini selain dengan membangun pembangkit listrik. Salah satu jenis pembangkit yang sangat potensial dan strategis untuk dibangun di Indonesia adalah PLTU Batubara. Diperkirakan Indonesia memiliki cadangan batubara sebesar 50 milyar ton (thn 2002), dan yang telah terbukti dari cadangan tersebut adalah sebesar 5 milyar ton, dengan laju produksi per tahun sekitar 100 juta ton (tahun 2002).

Ini berarti dari yang sudah terbukti, batubara di Indonesia masih bisa dinikmati sampai sekitar 50 tahun ke depan (asumsi laju tahun 2002), sehingga dalam perencanaan 50 tahun ke depan sangat baik bagi bangsa ini untuk mengandalkan batubara sebagai tulang punggung energi listrik nasional. Hal inilah yang membuat RUKN merencanakan pada tahun 2010 batubara akan dapat memasok sekitar 51% dari seluruh kapasitas pembangkit listrik nasional.

Pendahuluan

Kebutuhan energi listrik bagi umat manusia cenderung bertambah seiring dengan meningkatnya populasi manusia. Hal ini berarti bahwa jumlah pembangkit listrik yang ada saat ini akan menjadi kurang pada masa yang akan datang, jika tidak diimbangi dengan pembangunan pembangkit listrik yang baru. Dalam Rancangan Umum Kelistrikan Nasional (RUKN) tahun 2003 – 2020, diperkirakan bahwa pada tahun 2007, 2010, dan 2013 Indonesia akan mengalami kekurangan kapasitas pembangkit nasional masing-masing adalah sekitar 19% (7 GW), 31% (14 GW), dan 44% (24 GW) dari kebutuhan kapasitas pembangkit.

Hal ini berarti, jika tidak dilakukan perimbangan pembangunan pembangkit listrik, maka pada mulai tahun 2007 akan terjadi krisis kelistrikan yang dapat terus terakumulasi di Indonesia. Tidak ada cara lain untuk mencegah terjadinya krisis listrik di negara ini selain dengan membangun pembangkit listrik. Salah satu jenis pembangkit yang sangat potensial dan strategis untuk dibangun di Indonesia adalah PLTU Batubara.

Diperkirakan Indonesia memiliki cadangan batubara sebesar 50 milyar ton (thn 2002), dan yang telah terbukti dari cadangan tersebut adalah sebesar 5 milyar ton, dengan laju produksi per tahun sekitar 100 juta ton (tahun 2002). Ini berarti dari yang sudah terbukti, batubara di Indonesia masih bisa dinikmati sampai sekitar 50 tahun ke depan (asumsi laju tahun 2002), sehingga dalam perencanaan 50 tahun ke depan sangat baik bagi bangsa ini untuk mengandalkan batubara sebagai tulang punggung energi listrik nasional. Hal inilah yang membuat RUKN merencanakan pada tahun 2010 batubara akan dapat memasok sekitar 51% dari seluruh kapasitas pembangkit listrik nasional. Meskipun dari sisi sumber daya batubara Indonesia memiliki cadangan yang cukup besar, namun tetap bangsa kita masih memiliki kendala dalam pembangunannya.

Kendala tersebut di antaranya adalah dari sistem teknologi dan komponen PLTU yang sampai saat ini masih mengandalkan dari luar negeri. Namun pada tahun 2004 lalu pemerintah memutuskan untuk memecahkan kendala yang ada tersebut dengan mencanangkan program pembuatan PLTU skala kecil sebesar 7 MW, yang harus didominasi oleh muatan lokal. Dasar Pemerintah dalam memutuskan hal tersebut sangatlah jelas jika dilihat dari dua hal, yang pertama yaitu adanya permasalahan energi kelistrikan yang harus dipecahkan dan yang kedua adalah penerapan teknologi pembangunan pembangkit yang pengalamannya dimiliki oleh institusi pemerintah (BPPT dalam hal ini) unutk perancangan PLTU skala kecil yang pernah di bangun di Indonesia.

Diharapkan dengan mulai dipecahkannya permasalahan kelistrikan ini, maka permasalahan kesejahteraan rakyat yang sangat erat kaitannya dengan kebutuhan listrik dapat dipecahkan juga, dan kemandirian dalam teknologi pembangkitannya dapat juga dikuasai.

Membangun

Kemandirian untuk Kebutuhan Listrik Nasional BPPT adalah salah satu institusi pemerintah yang berkemampuan (karena pernah berpengalaman) dalam membuat sebuah paket Engineering desain PLTU skala kecil, mulai dari studi kelayakan, desain detil, analisis ekonomi, sampai pada melakukan kegiatan supervisi pembangunan dan fabrikasi. Tetapi dalam pembuatan PLTU tidak hanya bagian itu saja yang dikerjakan, ada bagian lain dalam proses pembangunan PLTU ini yang diharapkan kemampuannya dimiliki oleh pihak lain seperti industri nasional. Bagian lain tersebut yang harus dimiliki oleh industri nasional adalah bagian desain komponen, procurement, manufacture, dan pelaksanaan konstruksi.

Sehingga dalam peta tahapan kegiatan pembangunan PLTU skala kecil, yang menggambarkan tahapan pembangunan dan kompetensi institusi nasional dalam tahapan tersebut akan dapat pola kerja sama yang akan dilakukan dalam rangka saling mengisi dan bekerja sama anatara institusi nasional. Jadi dapat dilihat bahwa untuk membangun PLTU skala kecil di Indonesia, diperlukan kerja sama antara beberapa institusi yang memiliki kompetensi yang spesifik.

Tantangan

Selain permasalah di atas, untuk memulai membangun PLTU di Indonesia masih terdapat beberapa tantangan yang cukup besar. Beberapa tantangan yang ada di antaranya adalah :

1. Kurangnya keberpihakan / kepercayaan dari pemilik modal terhadap produk nasional, dikarenakan belum terintegrasinya pengalaman yang ada 2. Industri nasional masih bergantung pada desain dasar dan manufaktur komponen saja 3. Adanya serbuan dari produk asing, terutama China yang sangat sulit ditandingi dari sisi persaingan harga 4. Besarnya bea masuk bagi bahan dasar/mentah

Jika dilihat dari tantangan yang ada, maka dapat dilihat perlunya peran pemerintah dan pengusaha nasional untuk dapat memecahkan tantangan tersebut. Bagaimana pemerintah berperan dalam melindungi produk nasional sehingga perlindungan tersebut dapat memotivasi para pengusaha untuk berproduksi dan hasil produksinya dapat terintegrasi membentuk sebuah sistem PLTU nasional. Rencana aksi yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah untuk merealisasikan pembangunan PLTU skala kecil adalah :

1. Memberikan peran yang lebih besar kepada :

• Perancang sistem pembangkit (dalam hal ini BPPT), untuk membuktikan dan merealisasikan pengalaman yang dimiliki, dengan membangun sebuah unit pembangkit yang dirancang sepenuhnya oleh BPPT dan disupervisi oleh pihak konsultan yang reputable, dengan dibantu oleh Pemerintah

• Perancang dan pembuat komponen (dalam hal ini industri nasional), untuk menjadi spesialis (unggul) pada masing-masing produknya, untuk kemudian nantinya dapat diintegrasikan dalam suatu sistem PLTU 2. Membentuk konsorsium antara BPPT dan industri manufaktur, dengan tujuan untuk mensinergikan kemampuan dalam pembangunan PLTU

Dengan disatukannya kekuatan nasional maka diharapkan akan terbangun PLTU hasil karya lokal Indonesia, atau setidaknya memiliki muatan lokal yang dominan. Selain itu juga dapat menimbulkan manfaat yang berantai terhadap perkembangan engineering dan produksi di Indonesia.

Manfaat

Dengan dijadikannya BPPT sebagai pelaku dalam proses engineering dan digunakannya produksi lokal dalam pembangunan PLTU, maka akan didapat manfaat di antaranya adalah :

1. Adanya dampak positif terhadap industri nasional dalam mengoptimalisasi pembuatan komponen lokal

2. Dana engineering dalam pembangunan akan masuk menjadi milik nasional

3. Memudahkan bagi Pemerintah ataupun investor untuk dapat melakukan pengembangan terhadap produk sejenis yang ingin dilakukan

Sedangkan dampak nasional lain yang dapat dirasakan manfaatnya dengan pembangunan PLTU batubara, terutama batubara kualitas rendah yang banyak di Indonesia adalah:

1. Untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional

2. Mengurangi penggunaan bahan bakar minyak, yang saat ini juga menjadi permasalahan nasional

3. Terciptanya pembangkitan listrik yang terdistribusi menurut kebutuhan daerah tersebut

4. Termanfaatkannya sumbr enrgi batubara kualitas rendah, yang sebelumnya tidak memiliki nilai ekonomis

5. Berkembangnya industri lokal daerah yang tentunya akan berefek pada perkembangan industri nasional. Khususnya bagi industri komponen PLTU di Indonesia, perkembangan ini akan memberi angin segar dalam rangka menciptakan kemandirian nasioanal di bidang pembangkitan energi listrik

6. Berkembangnya perekonomian daerah yang didorong dengan tersedianya energi kelistrikan. Dengan tersedianya energi listrik, maka akan mendorong cepatnya sistem informasi dan komunikasi berkembang yang tentunya akan berdampak positif pada perekonomian daerah.

Penutup

Sekali lagi, bukanlah hal yang mudah untuk mengintegrasikan keinginan di atas. Perlu kesungguhan, kerja sama dan kerja keras bersama agar semua hal di atas dapat diwujudkan. Pemerintah harus melaksanakan perannya secara baik, bagian perancangan juga dapat secara cermat dapat melakukan hasil rancangan yang terbaik, serta dari pihak industri nasional juga bisa menciptakan produk unggulannya secara baik dan tepat. Jika diawali dengan kerangka yang baik tersebut, maka bukanlah tidak mungkin hal yang diharapkan dapat terwujud.

250 Pemilik KP Minta Izin Menambang di Hutan Kalsel by admin (www.energyportal.com)

250 Pemilik KP Minta Izin Menambang di Hutan Kalsel

Oleh admin (www.energyportal.com)

Senin, April 09, 2007 17:22:26

Send to a friend Print Version


Sekitar 250 dari 400 pemilik izin kuasa pertambangan (KP) yang dikeluarkan para bupati di Kalimantan Selatan baru-baru ini mengajukan permohonan kepada menteri kehutanan untuk mendapatkan izin pinjam pakai kawasan hutan. Izin itu dipakai menambang batu bara di hutan.

Permohonan itu tanpa rekomendasi gubernur Kalsel, melainkan diserahkan langsung oleh bupati setempat kepada menteri kehutanan (menhut). Permohonan itu terbanyak dari Kabupaten Tanahbumbu, daerah yang empat tahun dimekarkan.

Hal ini dikemukakan Kepala Dinas Pertambangan Kalsel Heryo Dharma saat dengar pendapat dengan komisi III DPRD Kalsel di Banjarmasin, Senin (9/4). Pernyataan itu diungkapkan Heryo menjawab pertanyaan menyangkut banyak pemilik izin KP yang mengajukan izin pinjam pakai hutan untuk kegiatan pertambangan batubara.

Secara angka pasti, jumlah izin KP di Kalsel sampai saat ini belum ada karena para bupati tidak pernah melaporkannya Dinas Pertambangan Kalsel. Namun, dalam beberapa tahun terakhir diperkirakan mencapai 400 KP. Dan baru-baru ini, sekitar 250 di antaranya telah mengajukan permohonan izin pinjam pakai kawasan hutan kepada menhut.

Tetapi, yang diketahui Heryo, ratusan pemohon izin tersebut tidak memakai rekomendasi dari gubernur Kalsel sebelum diserahkan ke menhut. Pengiriman permohonan itu juga tidak melewati Pemerintah Provinsi Kalsel. “Prosedur permohonan yang demikian tentu tidak benar. Menhut pasti tidak akan memenuhi permintaan tersebut tanpa ada rekomendasi dari gubernur,” katanya.

Rekomendasi itu diperlukan karena merupakan permintaan dari menhut sendiri saat bertemu dengan Gubernur Kalsel Rudy Ariffin pada akhir tahun 2006 lalu. Dari pertemuan itulah, dibentuk tim di tingkat provinsi untuk melayani para pemohon izin tersebut.

Sampai saat ini ada 75 pemilik KP yang mendaftar untuk mendapatkan izin tersebut, namun baru sampai minggu pertama April baru 18 pemohon yang diajukan ke menhut. “Itupun, sampai sekarang menhut belum mengeluarkan satupun izin pinjam pakai hutan di Kalsel,” katanya.

Heryo mengungkapkan, kegiatan pertambangan batu bara di Kalsel hampir 60 persen berada di kawasan hutan, termasuk di hutan lindung. Untuk bisa menambang di hutan secara legal, maka terlebih dahulu harus memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan dari menhut. Faktanya, para penambang di Kalsel tidak memiliki izin tersebut.

Sementara Ketua Dewan Riset Daerah (DRD) Kalsel, Yudi Firmanul Ariffin di Banjarbaru, mengatakan, menhut harus memperketat keluarnya izin tersebut karena sudah tahu parahnya kondisi kerusakan hutan kalsel. Provinsi yang luasnya 3,7 juta hektar ini di antaranya termasuk kawasan hutan 1,8 juta hektar. Saat ini sepertiga atau sekitar 500.000 hektar sudah menjadi lahan kritis.

Hutan yang tersisa kini hanya ada di Pegunungan Meratus. Itupun tidak lagi berupa hamparan yang luas. Parahnya, sebagian hutan itu tumpang tindih dengan kegiatan penambangan batu bara yang dimiliki pemegang izin KP.

“Kalsel menghadapi persoalan lingkungan yang sangat serius apabila hutan Meratus tidak diselamatkan. Sebab, hampir semua daerah perhuluan mata air dan sungai-sungai di Kalsel berasal dari pegunungan tersebut,” Yudi, yang juga staf pengajar Fakultas Kehutanan Universitas Lambun Mangkurat tersebut.

Abu Terbang Batubara Sebagai Adsorben by Marinda Putri

Abu Terbang Batubara Sebagai Adsorben

By Marinda Putri on 6 June 2008

Penggunaan abu terbang batubara sebagai campuran beton untuk bangunan California Academy of Science

Produksi abu terbang batubara (fly ash) didunia pada tahun 2000 diperkirakan berjumlah 349 milyar ton[1]. Penyumbang produksi abu terbang batubara terbesar adalah sektor pembangkit listrik. Produksi abu terbang dari pembangkit listrik di Indonesia terus meningkat, pada tahun 2000 jumlahnya mencapai 1,66 milyar ton dan diperkirakan mencapai 2 milyar ton pada tahun 2006[2].

Abu terbang batubara umumnya dibuang di landfill atau ditumpuk begitu saja di dalam area industri. Penumpukkan abu terbang batubara ini menimbulkan masalah bagi lingkungan. Berbagai penelitian mengenai pemanfaatan abu terbang batubara sedang dilakukan untuk meningkatkan nilai ekonomisnya serta mengurangi dampak buruknya terhadap lingkungan. Saat ini umumnya abu terbang batubara digunakan dalam pabrik semen sebagai salah satu bahan campuran pembuat beton. Selain itu, sebenarnya abu terbang batubara memiliki berbagai kegunaan yang amat beragam:

  1. Penyusun beton untuk jalan dan bendungan
  2. Penimbun lahan bekas pertambangan
  3. Recovery magnetit, cenosphere, dan karbon
  4. Bahan baku keramik, gelas, batu bata, dan refraktori
  5. Bahan penggosok (polisher)
  6. Filler aspal, plastik, dan kertas
  7. Pengganti dan bahan baku semen
  8. Aditif dalam pengolahan limbah (waste stabilization)
  9. Konversi menjadi zeolit dan adsorben

Konversi abu terbang batubara menjadi zeolit dan adsorben merupakan contoh pemanfaatan efektif dari abu terbang batubara. Keuntungan adsorben berbahan baku abu terbang batubara adalah biayanya murah. Selain itu, adsorben ini dapat digunakan baik untuk pengolahan limbah gas maupun limbah cair. Adsorben ini dapat digunakan dalam penyisihan logam berat dan senyawa organik pada pengolahan limbah. Abu terbang batubara dapat dipakai secara langsung sebagai adsorben atau dapat juga melalui perlakuan kimia dan fisik tertentu sebelum menjadi adsorben. Zeolit yang disintesis dari abu terbang batubara banyak digunakan untuk keperluan pertanian. Zeolit banyak dikonsumsi dalam pemurnian air, pengolahan tanah, dll. Zeolit dibuat dengan cara mengkonversi aluminosilikat yang terdapat pada abu terbang batubara menjadi kristal zeolit melalui reaksi hidrotermal.

Sifat Fisika dan Kimia Abu Terbang

Komponen utama dari abu terbang batubara yang berasal dari pembangkit listrik adalah silika (SiO2), alumina, (Al2O3), dan besi oksida (Fe2O3), sisanya adalah karbon, kalsium, magnesium, dan belerang. Rumus empiris abu terbang batubara ialah: Si1.0Al0.45Ca0.51Na0.047Fe0.039Mg0.020K0.013Ti0.011

Tabel 1. Komposisi kimia abu terbang batubara

Komponen

Bituminous

Sub-
bituminous

Lignite

SiO2

20-60%

40-60%

15-45%

Al2O3

5-35%

20-30%

10-25%

Fe2O3

10-40%

4-10%

4-15%

CaO

1-12%

5-30%

15-40%

MgO

0-5%

1-6%

3-10%

SO3

0-4%

0-2%

0-10%

Na2O

0-4%

0-2%

0-6%

K2O

0-3%

0-4%

0-4%

LOI

0-15%

0-3%

0-5%

Sifat kimia dari abu terbang batubara dipengaruhi oleh jenis batubara yang dibakar dan teknik penyimpanan serta penanganannya. Pembakaran batubara lignit dan sub-bituminous menghasilkan abu terbang dengan kalsium dan magnesium oksida lebih banyak daripada bituminus. Namun, memiliki kandungan silika, alumina, dan karbon yang lebih sedikit daripada bituminous. Kandungan karbon dalam abu terbang diukur dengan menggunakan Loss On Ignition Method (LOI).

Abu terbang batubara terdiri dari butiran halus yang umumnya berbentuk bola padat atau berongga. Ukuran partikel abu terbang hasil pembakaran batubara bituminous lebih kecil dari 0,075mm[4]. Kerapatan abu terbang berkisar antara 2100 sampai 3000 kg/m3 dan luas area spesifiknya (diukur berdasarkan metode permeabilitas udara Blaine) antara 170 sampai 1000 m2/kg[4].

Adsorben untuk Penyisihan Polutan pada Gas Buang

Abu terbang dapat dimanfaatkan sebagai adsorben untuk penyisihan polutan pada gas buang prose pembakaran yang berpotensi untuk merusak lingkungan seperti gas sulfur oksida yang menyebabkan hujam asam, gas nitrogen oksida yang menyebabkan pemanasan global, dan merkuri (Hg) yang berbahaya bagi makhluk hidup.

  1. Penyisihan SOx
    Industri-industri berusaha untuk mengurangi emisi SOx dengan cara memasang unit flue gas desulphurization (FGD) dan unit scrubber. Dua unit tersebut banyak digunakan karena memiliki efisiensi yang tinggi terhadap proses de-SOx. Namun, dua unit tersebut membutuhkan air dalam jumlah yang besar dan akibatnya menghasilkan limbah cair yang banyak. FGD tipe kering tidak membutuhkan pengolahan limbah cair tetapi tipe ini membutuhkan adsorben dalam jumlah besar untuk mencapai efisiensi de-SOxyang tinggi. Abu terbang batubara lebih dipilih untuk digunakan sebagai adsorben pada FGD tipe kering dalam skala besar dibandingkan karbon aktif karena biayanya lebih murah. Dua tipe abu terbang batubara yang berasal dari fluidized bed combustion (FBC) dan pulverized coal combustion (PCC) telah diuji coba untuk menyisihkan SO2 dengan bantuan kalsium hidroksida (CaOH2)[2]. Hasil uji coba tersebut adalah konversi CaO menjadi CaSO4 mencapai 92-100% dalam pereaksian selama 1 jam.
  2. Penyisihan NOx
    Abu terbang batubara juga memiliki potensi sebagai adsorben untuk menyisihkan NOx dari aliran gas buang. Emisi NOx diserap oleh karbon tidak terbakar yang terdapat di dalam abu terbang batubara. Partikel karbon tersebut dapat juga diaktivasi untuk meningkatkan kinerja penyerapan NOx. Penelitian yang dilakukan oleh Rubel et al menunjukkan bahwa perbandingan kapasitas penyerapan NOx karbon dari abu terbang batubara yang diaktivasi dengan karbon aktif komersial adalah 1/3[1].
  3. Penyisihan merkuri (Hg)
    Emisi merkuri yang dihasilkan dari pembakaran batubara pada unit boiler mendapat perhatian yang besar dari pemerhati lingkungan karena berpotensi merusak lingkungan dan menjadi ancaman bagi kesehatan makhluk hidup. Abu terbang batubara dapat dijadikan salah satu adsorben untuk mengontrol emisi merkuri dengan bantuan filter dari bahan kain misalnya dengan memakai baghouse filter. Peneliti Serre dan Silcox menyatakan bahwa karbon yang tidak terbakar di dalam abu terbang batubara dapat digunakan sebagai substitusi karbon aktif yang murah dan efektif. Abu terbang batubara dapat diinjeksikan secara berkala di dalam baghouse filter yang digunakan untuk menyisihkan merkuri. Luas permukaan dan struktur abu terbang batubara yang berpori merupakan dua hal yang menyebabkan abu terbang batubara berpotensi untuk menyerap emisi merkuri.
  4. Penyisihan gas-gas organik
    Selain dapat digunakan untuk menyisihkan tiga polutan diatas, abu terbang batubara juga dapat digunakan untuk menyisihkan gas organik. Penelitian yang dilakukan oleh Peloso, menunjukkan bahwa abu terbang batubara yang telah melewati proses aktivasi secara termal dapat menyisihkan uap toluene.

Adsorben untuk Penyisihan Ion Logam Berat pada Limbah Cair

Logam berat adalah polutan yang memberikan dampak signifikan bagi kesehatan makhluk hidup. Proses penghilangan logam berat dari limbah cair sudah dilakukan dengan beberapa cara seperti, presipitasi menggunakan bahan kimia, ekstraksi menggunakan pelarut tertentu, pertukaran ion, reverse osmosis, atau adsorpsi. Proses adsorpsi dengan pilihan jenis adsorben yang tepat jika dibandingkan dengan proses lainnya merupakan proses yang sederhana tapi efektif dalam penghilangan logam berat dari limbah cair.

Scanning Electron Microscopy abu terbang batubara.

Logam berat utama yang diteliti untuk diserap oleh abu terbang batubara adalah Pb, Ni, Cr, Cu, Cd, dan Hg. Penghilangan logam berat dari limbah cair melibatkan dua proses yaitu presipitasi dan adsorpsi. Proses presipitasi melibatkan kalsium hidroksida sedangkan proses adsorpsi melibatkan silika alumina. Kedua senyawa tersebut terkandung di dalam abu terbang batubara.

Peneliti bernama Bayat meneliti penghilangan logam Zn2+, Cd2+, Ni2+, Cu2+, dan Cr6+ menggunakan abu terbang batubara yang berasal dari batubara jenis lignit. Selain itu, Bayat juga membandingkannya hasil penghilangan logam berat tersebut dengan karbon aktif komersial. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa abu terbang batubara dapat menghilangkan logam berat seefektif karbon aktif pada kondisi tertentu. Proses adsorpsi maksimum terjadi pada kondisi pH 7-7.5[5].

Abu terbang batubara juga merupakan adsorben yang baik untuk menghilangkan Cs. Abu terbang batubara juga dikonversi menjadi zeolit melalui proses hidrotermal dan digunakan untuk menghilangkan logam Cs, timbal, dan kadmium. Kapasitas adsorpsi zeolit abu terbang batubara untuk timbal sebesar 70.58 mg/g dan 95.6 mg/g untuk kadmium dengan konsentrasi awal kedua logam sebesar 100 mg/L.

Konversi Abu Terbang Batubara Menjadi Zeolit

Zeolit pada dasarnya merupakan padatan aluminium-silikat yang memiliki struktur yang berpori. Zeolit alam biasanya terbentuk dari batu dan abu gunung berapi yang beraksi dengan logam alkali tanah pada air tanah. Zeolit murni hampir tidak dapat ditemukan di alam. Biasanya terdapat pengotor seperti logam natrium dan kalsium. Abu terbang batubara memiliki potensi dikonversi menjadi zeolit jika memiliki kandungan alumina-silika yang cukup tinggi dan kandungan karbon yang rendah. Zeolit memiliki beberapa aplikasi industrial yaitu[6]:

  • Pertukaran ion : Penukar ion Na+/K+/Ca2+
  • Adsorpsi pengotor gas : Adsorpsi selektif berdasarkan molekul gas spesifik
  • Adsorpsi pengotor air : Adsorpsi reversibel air tanpa ada perubahan sifat fisik dan kimia dari zeolit itu sendiri

Jenis zeolit yang dihasilkan dari abu terbang bergantung pada komposisi awal dan metode konversinya. Metode yang umum digunakan adalah hydrothermal alkali treatment yaitu memanaskan campuran abu terbang dengan larutan alkali (KOH, NaOH, dsb.) dalam variasi waktu reaksi, suhu, dan tekanan tertentu[6].

Tantangan Masa Depan

Abu terbang pada masa kini dipandang sebagai limbah pembakaran batubara. Penanganan abu terbang masih terbatas pada penimbunan di lahan kosong. Hal ini berpotensi bahaya bagi lingkungan dan masyarakat sekitar seperti, logam-logam dalam abu terbang terekstrak dan terbawa ke perairan, abu terbang tertiup angin sehingga mengganggu pernafasan. Sudut pandang terhadap abu terbang harus dirubah, abu terbang adalah bahan baku potensial yang dapat digunakan sebagai adsorben murah. Beberapa investigasi menyimpulkan bahwa abu terbang memiliki kapasitas adsorpsi yang baik untuk menyerap gas organik, ion logam berat, gas polutan. Modifikasi sifat fisik dan kimia perlu dilakukan untuk meningkatkan kapasitas adsorpsi.

Berdasarkan paparan diatas sudah terbukti bahwa abu terbang batubara memiliki potensi yang besar sebagai adsorben yang ramah lingkungan. Abu terbang batubara dapat menjadi alternatif pengganti karbon aktif dan zeolit. Tetapi, kapasitas adsorpsi abu terbang sangat bergantung pada asal dan perlakuan pasca pembakaran batubara. Sampai sekarang, pemanfaatan abu terbang masih dilakukan dalam skala kecil karena umumnya kapasitas adsorpsinya masih rendah. Modifikasi sifat fisik dan kimia dapat meningkatkan kapasitas adsorpsi abu terbang. Peningkatan kapasitas adsorpsi dapat membuat adsorben dari abu terbang batubara kompetitif bila dibandingkan dengan karbon aktif dan zeolit[1].

Konversi abu terbang menjadi zeolit adalah salah satu alternatif yang sangat potensial meningkatkan nilai ekonomis abu terbang. Karbon sisa pembakaran dalam abu terbang memiliki kualitas setara karbon aktif sehingga investigasi mengenai pemisahan karbon sisa berpotensi meningkatkan nilai ekonomis dari abu terbang. Zeolit memiliki kegunaan yang banyak seperti adsorben, resin penukar ion, molecular sieves, dll. Zeolit memilki kapasitas adsorpsi yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan abu terbang sehingga konversi abu terbang menjadi zeolit menjadi alternatif yang menjanjikan dimasa depan (Queroll, 2006). Penelitian di masa depan diharapkan dapat membuat konversi abu terbang menjadi zeolit komersil pada skala industri.

Referensi:
[1] S.Wang, H. Wu , H, Journal of Hazardous Materials (2006).
[2] Indonesia Power, PLTU Suralaya, (2002).
[3] Putu Astari Merati, Utilization of fly ash from power plant for removal of dyes, (2006).
[4] Yoga Pratama, Heri T. Putranto, Coal fly ash conversion to zeolite for removal of chromium and nickel from wastewaters, (2007).
[5] B. Bayat, Journal of Hazardous Materials, Vol. 95(3)275-290,(2002).
[6] X.Querol, et al, Int. J. Coal Geol. 50, 413-423, (2002).
[7] D. Mohan, et al, Ind. Eng. Chem. Res. 41, 3688-3695, (2002).

Cadangan Batubara Indonesia Sebesar 12 Miliar Ton (by energiportal)

Cadangan Batubara Indonesia Sebesar 12 Miliar Ton

Oleh energiportal

Jumat, April 20, 2007 16:19:47

Berdasarkan aplikasi sistem database yang dikembangkan oleh Badan Geologi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan NEDO, terjadi perubahan besarnya sumber daya batubara di Indonesia. Jika sebelumnya jumlah sumber daya batubara sebesar 26 miliar ton kini menjadi 65,4 miliar ton. Sedang cadangan dari 2,6 miliar ton menjadi 12 miliar ton.

“Saya menyambut gembira kerjasama ini dengan fokus pengelolaan data dan informasi batubara dalam meningkatkan pengetahuan dan pemahaman kita tentang potensi sumber daya batubara dan kualitasnya,’’ ujar Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro saat memberikan sambutan pada acara Presentasi Hasil Kerjasama Studi Sumber daya dan Cadangan Batubara di Indonesia, Kamis (19/4), di Jakarta.

Diungkapkan oleh Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro, peran batubara akan semakin meningkat di waktu akan datang. Oleh sebab itu keberadaan data dan informasi yang lebih akurat serta dapat diakses dengan mudah oleh para pelaku usaha batubara sangat penting. Selanjutnya diharapkan akan menjadi daya tarik usaha dan investasi pertambangan usaha batubara.

Produksi batubara Indonesia tahun 2006 sebesar 162 juta ton dan 120 juta ton diantaranya digunakan keperluan ekspor. “Dari jumlah batubara yang diekspor tersebut, 29 juta (26%) dikirim ke Jepang,’’ ujar Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro. Peningkatan konsumsi juga terjadi di dalam negeri. Jika saat ini PT PLN membutuhkan 31 juta ton, diperkirakan tahun 2010 akan menjadi 113 juta ton.

Pada kesempatan tersebut Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro menyampaikan masalah yang dihadapi saat ini dan ke depan dalam aspek pemanfaatan batubara adalah masalah lingkungan dan konflik penggunaan lahan. “Masalah yang berkenaan dengan penggunaan lahan pertambangan batubara perlu mendapatkan perhatian,’’ tegas Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro.

Pertambahan penduduk dan tekanan untuk melindungi hutan dan sumber daya air membuat perluasan atau ekstensifikasi akan semakin sulit. “Dengan demikian perhatian untuk mengambangkan underground harus sudah dimulai dari sekarang,’’ papar Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro. Diharapkan database ini bisa memberikan rangsangan bagi usaha pertambangan bawah tanah.

Pertambangan Batubara: Pro dan Kontra By Ratih Asthary

Pertambangan Batubara: Pro dan Kontra

By Ratih Asthary on 5 June 2008

Indonesia adalah eksportir batubara terbesar kedua di dunia (setelah Australia, 2006). Batubara yang banyak diekspor adalah batubara jenis sub-bituminus yang dapat merepresentasikan produksi batubara Indonesia. Produksi batubara Indonesia meningkat sebesar 11.1% pada tahun 2003 dan jumlah ekspor meningkat sebesar 18.3% di tahun yang sama. Sebagian besar cadangan batubara Indonesia terdapat di Sumatra bagian selatan. Kualitasnya beragam antara batubara kualitas rendah seperti lignit (59%) dan sub-bituminus (27%) serta batubara kualitas tinggi seperti bituminus dan antrasit (14%).

Sekitar 74% dari batubara Indonesia merupakan hasil penambangan perusahaan swasta. Satu-satunya Badan Usaha Milik Negara (BUMN), PT Tambang Bukit Asam, menghasilkan sekitar 10 Mt (hanya 9% dari total produksi batubara Indonesia pada tahun 2003) dari penambangan terbuka. Bandingkan dengan perusahaan-perusahaan swasta seperti PT Adaro, PT Kaltim Prima Coal, serta PT Arutmin yang dapat memproduksi batubara hingga di atas 10 Mt pada tahun yang sama. Terlihat ironis bukan? Perusahaan penambangan batubara milik negara kalah produksi oleh perusahaan swasta.

Operasi penambangan batubara seringkali dituduh menyebabkan kerusakan lingkungan. Penambangan batubara diperkirakan menyebabkan kerusakan pada kurang lebih 70 ribu hektar tanah. Pada beberapa area, limbah cair dibuang pada sungai terdekat yang pada akhirnya mencemari sumber air warga sekitar. Dampak lingkungan serta permintaan akan kontribusi perusahaan pertambangan yang lebih besar kepada perkembangan masyarakat telah menyebabkan munculnya permintaan akan ditutupnya operasi penambangan batubara. Salah satu hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi pengrusakan lingkungan oleh operasi penambangan batubara adalah dengan lebih memperketat regulasi yang berkaitan dengan penambangan batubara, disinilah peran besar pemerintah. Pemerintah merespon permasalahan ini dengan memberikan komitmen bahwa operasi penambangan batubara akan merujuk pada peraturan pemerintah mengenai keselamatan lingkungan. Sebagai contoh, pada tahun 1999 diterbitkan PP no 18 yang mengatur mengenai tata cara pemrosesan limbah berbahaya dan beracun. Peraturan ini mengharuskan perusahaan pertambangan untuk memproses limbah yang dihasilkan hingga mencapai derajat kebersihan yang sangat tinggi dengan standar kemurnian air yang 5 kali lebih ketat dibandingkan Amerika Serikat maupun Kanada. Akan tetapi, penerapan regulasi ini pada akhirnya ditunda karena pemerintah mengevaluasi ulang kemampuan teknologi yang dimiliki oleh perusahaan pertambangan di Indonesia dan ternyata dibutuhkan penyesuaian. Belum lagi adanya penambangan batubara ilegal. Para penambang ilegal mengabaikan ketentuan yang berkaitan dengan lingkungan dan keselamatan serta menjual batubara dengan harga yang lebih rendah. Pemerintah diharapkan dapat mengambil sikap dan menuntut para penambang ilegal ini.

Pemerintah sendiri memiliki ketertarikan yang besar dalam mengembangkan teknologi pemanfaatan batubara untuk mengurangi dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh batubara. Usaha untuk mengembangkan Clean Coal Technology (CCT) telah memasukkan kerjasama dengan pihak asing untuk mempelajari efek-efek yang mungkin muncul dari penggunaan batubara dan untuk mencari cara baru agar pembangkit listrik yang berbasis pembakaran batubara dapat memenuhi ketentuan lingkungandari segi emisi. Ini suatu itikad baik yang ditunjukkan oleh pemerintah mengingat permasalahan yang menyangkut emisi yang dihasilkan oleh batubara dapat mengurangi visibilitas digunakannya batubara sebagai sumber energi.

Masalah sumber energi pun sedang menjadi fokus utama pemerintah berkaitan dengan naiknya harga minyak bumi. Pada dasarnya, cadangan batubara Indonesia memang jauh lebih besar dibandingkan dengan cadangan minyak bumi maupun gas alam sehingga pemerintah kini mulai melihat batubara sebagai sumber energi alternatif yang murah. Batubara selama ini telah digunakan sebagai bahan bakar pada pabrik semen dan pabrik baja, apa salahnya jika batubara digunakan untuk membangkitkan listrik? Apabila hal ini dapat dilakukan, subsidi pemerintah untuk BBM dapat berkurang (saat ini subsidi memang tidak mencukupi akibat kenaikan harga minyak bumi dan peningkatan konsumsi BBM). Dalam 3 tahun mendatang diharapkan telah berdiri PLTU Batubara dengan kapasitas daya listrik yang dapat dihasilkan sebesar 10000 MW.

Tampaknya untuk mewujudkan hal itu, pemerintah dan industri pertambangan batubara harus bekerja lebih keras. Dengan perkiraan heating value batubara Indonesia yang berada pada kisaran 5000 sampai 7000 kal/kg, berapa banyak batubara yang harus diproduksi untuk menghasilkan listrik 10000 MW? Apakah perusahaan pertambangan di Indonesia dapat menemukan cara untuk menambang batubara tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan?

Tampaknya jawaban pertanyaan di atas adalah TIDAK. Atau mungkin BELUM. Tanah yang dikeruk, polusi yang disebabkannya, serta bekas yang ditinggalkannya masih akan menjadi masalah lingkungan di kemudian hari. Mungkin saat ini yang bisa dilakukan adalah meningkatkan kinerja unit-unit penanganan limbah sekaligus melakukan transfer teknologi terkait dengan keterbatasan yang kita miliki dalam teknologi penambangan, mengurangi penambang-penambang ilegal, dan secara bertahap melakukan rehabilitasi lahan pertambangan yang telah ditinggalkan. MENGAPA? Karena lebih tidak mungkin menghentikan penambangan batubara yang saat ini diharapkan bisa menjadi penyelamat bagi krisis energi yang melanda Indonesia.

COAL for ENERGY!!

Referensi: www.australiancoal.com

Batubara secara umum

Batubara merupakan batuan hidrokarbon padat yang terbentuk dari tetumbuhan dalam lingkungan bebas oksigen, serta terkena pengaruh tekanan dan panas yang berlangsung sangat lama. Proses pembentukan (coalification) memerlukan jutaan tahun, mulai dari awal pembentukan yang menghasilkan gambut, lignit, subbituminus, bituminous, dan akhirnya terbentuk antrasit.

Di Indonesia, endapan batubara yang bernilai ekonomis terdapat di cekungan Tersier, yang terletak di bagian barat Paparan Sunda (termasuk Pulau Sumatera dan Kalimantan), pada umumnya endapan batubara tersebut tergolong usia muda, yang dapat dikelompokkan sebagai batubara berumur Tersier Bawah dan Tersier Atas.

Pembentukan batubara memerlukan kondisi-kondisi tertentu dan hanya terjadi pada era-era tertentu sepanjang sejarah geologi. Zaman Karbon, kira-kira 340 juta tahun yang lalu (jtl), adalah masa pembentukan batubara yang paling produktif dimana hampir seluruh deposit batubara (black coal) yang ekonomis di belahan bumi bagian utara terbentuk.

Pada Zaman Permian, kira-kira 270 jtl, juga terbentuk endapan-endapan batubara yang ekonomis di belahan bumi bagian selatan, seperti Australia, dan berlangsung terus hingga ke Zaman Tersier (70 - 13 jtl) di pelbagai belahan bumi lain.

Proses Pembentukan Batubara

Proses perubahan sisa-sisa tanaman menjadi gambut hingga batubara disebut dengan istilah pembatubaraan (coalification). Secara ringkas ada 2 tahap proses yang terjadi, yakni:

  • Tahap Diagenetik atau Biokimia, dimulai pada saat material tanaman terdeposisi hingga lignit terbentuk. Agen utama yang berperan dalam proses perubahan ini adalah kadar air, tingkat oksidasi dan gangguan biologis yang dapat menyebabkan proses pembusukan (dekomposisi) dan kompaksi material organik serta membentuk gambut.
  • Tahap Malihan atau Geokimia, meliputi proses perubahan dari lignit menjadi bituminus dan akhirnya antrasit.

Bahan Pembentuk Batubara

Hampir seluruh pembentuk batubara berasal dari tumbuhan. Jenis-jenis tumbuhan pembentuk batubara dan umurnya menurut Diessel (1981) adalah sebagai berikut:

  • Alga, dari Zaman Pre-kambrium hingga Ordovisium dan bersel tunggal. Sangat sedikit endapan batubara dari perioda ini.
  • Silofita, dari Zaman Silur hingga Devon Tengah, merupakan turunan dari alga. Sedikit endapan batubara dari perioda ini.
  • Pteridofita, umur Devon Atas hingga KArbon Atas. Materi utama pembentuk batubara berumur Karbon di Eropa dan Amerika Utara. Tetumbuhan tanpa bunga dan biji, berkembang biak dengan spora dan tumbuh di iklim hangat.
  • Gimnospermae, kurun waktu mulai dari Zaman Permian hingga Kapur Tengah. Tumbuhan heteroseksual, biji terbungkus dalam buah, semisal pinus, mengandung kadar getah (resin) tinggi. Jenis Pteridospermae seperti gangamopteris dan glossopteris adalah penyusun utama batubara Permian seperti di Australia, India dan Afrika.
  • Angiospermae, dari Zaman Kapur Atas hingga kini. Jenis tumbuhan modern, buah yang menutupi biji, jantan dan betina dalam satu bunga, kurang bergetah dibanding gimnospermae sehingga, secara umum, kurang dapat terawetkan.

Kelas dan Jenis Batubara

Berdasarkan tingkat proses pembentukannya yang dikontrol oleh tekanan, panas dan waktu, batubara umumnya dibagi dalam lima kelas: antrasit, bituminus, sub-bituminus, lignit dan gambut.

  • Antrasit adalah kelas batubara tertinggi, dengan warna hitam berkilauan (luster) metalik, mengandung antara 86% - 98% unsur karbon (C) dengan kadar air kurang dari 8%.
  • Bituminus mengandung 68 - 86% unsur karbon (C) dan berkadar air 8-10% dari beratnya. Kelas batubara yang paling banyak ditambang di Australia.
  • Sub-bituminus mengandung sedikit karbon dan banyak air, dan oleh karenanya menjadi sumber panas yang kurang efisien dibandingkan dengan bituminus.
  • Lignit atau batubara coklat adalah batubara yang sangat lunak yang mengandung air 35-75% dari beratnya.
  • Gambut, berpori dan memiliki kadar air di atas 75% serta nilai kalori yang paling rendah.

Batubara di Indonesia

Di Indonesia, endapan batubara yang bernilai ekonomis terdapat di cekungan Tersier, yang terletak di bagian barat Paparan Sunda (termasuk Pulau Sumatera dan Kalimantan), pada umumnya endapan batubara ekonomis tersebut dapat dikelompokkan sebagai batubara berumur Eosen atau sekitar Tersier Bawah, kira-kira 45 juta tahun yang lalu dan Miosen atau sekitar Tersier Atas, kira-kira 20 juta tahun yang lalu menurut Skala waktu geologi.

Batubara ini terbentuk dari endapan gambut pada iklim purba sekitar khatulistiwa yang mirip dengan kondisi kini. Beberapa diantaranya tegolong kubah gambut yang terbentuk di atas muka air tanah rata-rata pada iklim basah sepanjang tahun. Dengan kata lain, kubah gambut ini terbentuk pada kondisi dimana mineral-mineral anorganik yang terbawa air dapat masuk ke dalam sistem dan membentuk lapisan batubara yang berkadar abu dan sulfur rendah dan menebal secara lokal. Hal ini sangat umum dijumpai pada batubara Miosen. Sebaliknya, endapan batubara Eosen umumnya lebih tipis, berkadar abu dan sulfur tinggi. Kedua umur endapan batubara ini terbentuk pada lingkungan lakustrin, dataran pantai atau delta, mirip dengan daerah pembentukan gambut yang terjadi saat ini di daerah timur Sumatera dan sebagian besar Kalimantan.

Endapan Batubara Eosen

Endapan ini terbentuk pada tatanan tektonik ekstensional yang dimulai sekitar Tersier Bawah atau Paleogen pada cekungan-cekungan sedimen di Sumatera dan Kalimantan.

Ekstensi berumur Eosen ini terjadi sepanjang tepian Paparan Sunda, dari sebelah barat Sulawesi, Kalimantan bagian timur, Laut Jawa hingga Sumatera. Dari batuan sedimen yang pernah ditemukan dapat diketahui bahwa pengendapan berlangsung mulai terjadi pada Eosen Tengah. Pemekaran Tersier Bawah yang terjadi pada Paparan Sunda ini ditafsirkan berada pada tatanan busur dalam, yang disebabkan terutama oleh gerak penunjaman Lempeng Indo-Australia. Lingkungan pengendapan mula-mula pada saat Paleogen itu non-marin, terutama fluviatil, kipas aluvial dan endapan danau yang dangkal.

Di Kalimantan bagian tenggara, pengendapan batubara terjadi sekitar Eosen Tengah - Atas namun di Sumatera umurnya lebih muda, yakni Eosen Atas hingga Oligosen Bawah. Di Sumatera bagian tengah, endapan fluvial yang terjadi pada fasa awal kemudian ditutupi oleh endapan danau (non-marin). Berbeda dengan yang terjadi di Kalimantan bagian tenggara dimana endapan fluvial kemudian ditutupi oleh lapisan batubara yang terjadi pada dataran pantai yang kemudian ditutupi di atasnya secara transgresif oleh sedimen marin berumur Eosen Atas.

Endapan batubara Eosen yang telah umum dikenal terjadi pada cekungan berikut: Pasir dan Asam-asam (Kalimantan Selatan dan Timur), Barito (Kalimantan Selatan), Kutai Atas (Kalimantan Tengah dan Timur), Melawi dan Ketungau (Kalimantan Barat), Tarakan (Kalimantan Timur), Ombilin (Sumatera Barat) dan Sumatera Tengah (Riau).

Endapan Batubara Miosen

Pada Miosen Awal, pemekaran regional Tersier Bawah - Tengah pada Paparan Sunda telah berakhir. Pada Kala Oligosen hingga Awal Miosen ini terjadi transgresi marin pada kawasan yang luas dimana terendapkan sedimen marin klastik yang tebal dan perselingan sekuen batugamping. Pengangkatan dan kompresi adalah kenampakan yang umum pada tektonik Neogen di Kalimantan maupun Sumatera. Endapan batubara Miosen yang ekonomis terutama terdapat di Cekungan Kutai bagian bawah (Kalimantan Timur), Cekungan Barito (Kalimantan Selatan) dan Cekungan Sumatera bagian selatan. Batubara Miosen juga secara ekonomis ditambang di Cekungan Bengkulu.

Batubara ini umumnya terdeposisi pada lingkungan fluvial, delta dan dataran pantai yang mirip dengan daerah pembentukan gambut saat ini di Sumatera bagian timur. Ciri utama lainnya adalah kadar abu dan belerang yang rendah. Namun kebanyakan sumberdaya batubara Miosen ini tergolong sub-bituminus atau lignit sehingga kurang ekonomis kecuali jika sangat tebal (PT Adaro) atau lokasi geografisnya menguntungkan. Namun batubara Miosen di beberapa lokasi juga tergolong kelas yang tinggi seperti pada Cebakan Pinang dan Prima (PT KPC), endapan batubara di sekitar hilir Sungai Mahakam, Kalimantan Timur dan beberapa lokasi di dekat Tanjungenim, Cekungan Sumatera bagian selatan.

Potensi Batubara

Potensi sumberdaya batubara di Indonesia sangat melimpah, terutama di Pulau Kalimantan dan Pulau Sumatera, sedangkan di daerah lainnya dapat dijumpai batubara walaupun dalam jumlah kecil dan belum dapat ditentukan keekonomisannya, seperti di Jawa Barat, Jawa Tengah, Papua, dan Sulawesi.

Dari segi kuantitas batubara termasuk cadangan energi fosil terpenting bagi Indonesia. Jumlahnya sangat berlimpah, mencapai puluhan milyar ton. Jumlah ini sebenarnya cukup untuk memasok kebutuhan energi listrik hingga ratusan tahun ke depan. Sayangnya, Indonesia tidak mungkin membakar habis batubara dan mengubahnya menjadi energis listrik melalui PLTU. Selain mengotori lingkungan melalui polutan CO2, SO2, NOx dan CxHy cara ini dinilai kurang efisien dan kurang memberi nilai tambah tinggi.

Batubara sebaiknya tidak langsung dibakar, akan lebih bermakna dan efisien jika dikonversi menjadi migas sintetis, atau bahan petrokimia lain yang bernilai ekonomi tinggi. Dua cara yang dipertimbangkan dalam hal ini adalah likuifikasi (pencairan) dan gasifikasi (penyubliman) batubara.

Membakar batubara secara langsung (direct burning) telah dikembangkan teknologinya secara continue, yang bertujuan untuk mencapai efisiensi pembakaran yang maksimum, cara-cara pembakaran langsung seperti: fixed grate, chain grate, fluidized bed, pulverized, dan lain-lain, masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahannya.

Teknologi Pemanfaatan Batubara dengan Gasifikasi

Coal gasification adalah sebuah proses untuk merubah batubara padat menjadi gas batu bara yang mudah terbakar (combustible gases), setelah proses pemurnian gas-gas ini CO (karbon monoksida), karbon dioksida (CO2), hidrogen (H), metan (CH4), dan nitrogen (N2) – dapat digunakan sebagai bahan bakar. hanya menggunakan udara dan uap air sebagai reacting-gas kemudian menghasilkan water gas atau coal gas, gasifikasi secara nyata mempunyai tingkat emisi udara, kotoran padat dan limbah terendah.

Tetapi, batubara bukanlah bahan bakar yang sempurna. Terikat didalamnya adalah sulfur dan nitrogen, bila batubara ini terbakar kotoran-kotoran ini akan dilepaskan ke udara, bila mengapung di udara zat kimia ini dapat menggabung dengan uap air (seperti contoh kabut) dan tetesan yang jatuh ke tanah seburuk bentuk asam sulfurik dan nitrit, disebut sebagai "hujan asam" “acid rain”. Disini juga ada noda mineral kecil, termasuk kotoran yang umum tercampur dengan batubara, partikel kecil ini tidak terbakar dan membuat debu yang tertinggal di coal combustor, beberapa partikel kecil ini juga tertangkap di putaran combustion gases bersama dengan uap air, dari asap yang keluar dari cerobong beberapa partikel kecil ini adalah sangat kecil setara dengan rambut manusia.

Batubara bersih

Ada beberapa cara menjadikan batubara bersih. Contoh sulfur, sulfur adalah zat kimia kekuningan yang ada sedikit di batubara, pada beberapa batubara yang ditemukan di Ohio, Pennsylvania, West Virginia dan eastern states lainnya, sulfur terdiri dari 3 sampai 10 % dari berat batu bara, beberapa batu bara yang ditemukan di Wyoming, Montana dan negara-negara bagian sebelah barat lainnya sulfur hanya sekitar 1/100ths (lebih kecil dari 1%) dari berat batubara. Penting bahwa sebagian besar sulfur ini dibuang sbelum mencapai cerobong asap.

Satu cara untuk membersihkan batubara adalah dengan cara mudah memecah batubara ke bongkahan yang lebih kecil dan mencucinya. Beberapa sulfur yang ada sebagai bintik kecil di batu bara disebut sebagai "pyritic sulfur " karena ini dikombinasikan dengan besi menjadi bentuk iron pyrite, selain itu dikenal sebagai "fool's gold” dapat dipisahkan dari batubara. Secara khusus pada proses satu kali, bongkahan batubara dimasukkan ke dalam tangki besar yang terisi air , batubara mengambang ke permukaan ketika kotoran sulfur tenggelam. Fasilitas pencucian ini dinamakan "coal preparation plants" yang membersihkan batubara dari pengotor-pengotornya.

Tidak semua sulfur bisa dibersihkan dengan cara ini, bagaimanapun sulfur pada batubara adalah secara kimia benar-benar terikat dengan molekul karbonnya, tipe sulfur ini disebut "organic sulfur," dan pencucian tak akan menghilangkannya. Beberapa proses telah dicoba untuk mencampur batubara dengan bahan kimia yang membebaskan sulfur pergi dari molekul batubara, tetapi kebanyakan proses ini sudah terbukti terlalu mahal, ilmuan masih bekerja untuk mengurangi biaya dari prose pencucian kimia ini.

Kebanyakan pembangkit tenaga listrik modern dan semua fasilitas yang dibangun setelah 1978 — telah diwajibkan untuk mempunyai alat khusus yang dipasang untuk membuang sulfur dari gas hasil pembakaran batubara sebelum gas ini naik menuju cerobong asap. Alat ini sebenarnya adalah "flue gas desulfurization units," tetapi banyak orang menyebutnya "scrubbers" — karena mereka men-scrub (menggosok) sulfur keluar dari asap yang dikeluarkan oleh tungku pembakar batubara.

Listrik Murah dari Tambang Batu Bara by imy, Sumber : Republika (24 Februari 2005)

Listrik Murah dari Tambang Batu Bara
imy

Listrik yang murah meriah barangkali bukan lagi sekadar mimpi. Dalam waktu dekat, Kementerian Riset dan Teknologi bekerja sama dengan PLN akan membangun pembangkit listrik tenaga batu bara mulut tambang pertama di wilayah Tanjung Enim, Sumatra Selatan.

Pembangkit listrik ini, menurut Meneg Ristek/Kepala BPPT Kusmayanto Kadiman akan memangkas habis biaya transportasi batu bara dari mulut tambang ke pelabuhan. Sehingga, akan menghasilkan listrik dengan harga yang jauh lebih murah ''Dengan cara ini kita tidak hanya mengurangi, tapi juga menekan biaya listrik,'' kata Kusmayanto usai saat rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR RI, Rabu (23/2), Ide pembangunan pembangkit listrik model ini, kata Kusmayanto, menimbang banyaknya potensi batu bara yang tidak terpakai secara optimal. ''Batu bara kita ini banyak sekali. Namun, hanya sebagian kecil saja yang laku dijual. Karena kualitasnya tinggi dan dekat ke pelabuhan sehingga tidak banyak ongkos untuk kirim,''.

Sementara di beberapa tempat, kata dia, berlimpah batu bara dengan kualitas rendah yang jauh dari pelabuhan. ''Kita memikirkan bersama PLN untuk membuat pembangkit listrik sedekat mungkin dengan sumber batu bara. Dengan demikian, ongkos angkut batu bara tidak ada. Hanya ongkos kirim listrik, yang jauh lebih mudah murah ketimbang ongkos kirim batu bara,''. Ditaksir pembangkit listrik mulut tambang ini dapat menghasilkan listrik hingga kapasitas tiga ribu mega watt, atau seperlima dari total penggunaan listrik di Indonesia saat ini (15 ribu mega watt). ''Jumlah ini cukup untuk menerangi sebagian pulau Jawa dan seluruh Sumatera,'' tutur Kusmayanto optimistis.

BPPT bekerja sama dengan PLN sedang meneliti untuk mencari solusi kabel bawah laut Sumatera Jawa. ''Kalau sudah ada, maka batubara ini tidak usah dibawa ke Jawa dan dibakar di Jawa. ''Bakar di sana lalu kabelnya nyebrang,''. Direncanakan, kata Kusmayanto, pembangkit listrik ini dapat terkoneksi pula dengan pulau Madura. ''Apalagi sekarang sudah ada jembatan, sehingga kabel tidak perlu lewat bawah laut tapi bisa di atas jembatan.''.

Saat ini, kata Kusmayanto, pihaknya tengah menggodok instrumen hukum untuk mendukung realisasi pembangkit listrik tadi. Misalnya, isu soal bisa tidaknya pemilik kuasa penambangan (KP) batu bara ikut membuat listrik. ''Atau boleh tidaknya yang punya izin bikin listrik menambang batu bara,'' terangnya lagi. Disamping itu, Kemenristek dan PLN juga menawarkan konsep kerja sama antara keduanya tanpa meningkatkan ongkos produksi. Perlunya kehadiran instrumen hukum tadi, menurut Kusmayanto, mendapat dukungan dari penuh komisi VII.

Sumber : Republika (24 Februari 2005)

Indonesia Power akan tunjuk langsung pemasok batu bara (Kementerian BUMN )

Indonesia Power akan tunjuk langsung pemasok batu bara (Kementerian BUMN )

JAKARTA, 04 Agustus 2006

PT Indonesia Power kemungkinan besar akan melakukan penunjukan langsung untuk pengadaan batu bara sebanyak empat juta ton per tahun pekan depan karena peserta tender kedua hanya dua perusahaan.

Tender kedua yang digelar pekan ini merupakan lanjutan akibat gagalnya tender pertama yang juga diikuti peserta kurang dari tiga perusahaan. "Sesuai aturan lelang jika dua kali lelang gagal dilaksanakan sesuai persyaratan maka kita bisa melakukan penunjukan langsung," ujar Direktur Utama PT Indonesia Power Abimanyu Suyoso kepada wartawan di Jakarta, kemarin.

Tender batu bara empat juta ton tersebut diperuntukkan untuk pasokan ke PLTU Suralaya yang kurang akibat keputusan PT Tambang Batubara Bukit Asam (PTBA) yang meminta peningkatan harga. PTBA merupakan pemasok utama batu bara bagi pembangkit listrik tenaga uap Suralaya, di Banten.

Dia menjelaskan kedua peserta tender pengadaan itu adalah PT Berau Coal dan PT Kideco Jaya Agung. Meski ditunjuk langsung, kata Abimanyu, namun harga batu bara tetap harus mengacu pada rencana kerja dan anggaran perusahaan (RKAP) 2006 PT PLN sebagai induk perusahaan IP yakni Rp327.000 per ton.

"Kita tidak mungkin membeli dengan harga di atas yang ditetapkan dalam RKAP, kecuali jika memang ada perubahan yang harus juga dilakukan melalui RUPS," katanya. Saat ini, kebutuhan batu bara PLTU Suralaya mencapai 13 juta ton per tahun dengan tingkat kalori sebesar 5.000 kalori/kg.

Dari total kebutuhan itu, sebanyak lima juta hingga enam juta ton dipasok PTBA, empat juta ton akan dipasok dari hasil tender, sementara sisanya berasal dari Kalimantan Timur.

Belum didapatnya kepastian pasokan tambahan sebesar empat juta ton, menurut Abimanyu tidak membuat Indonesia Power khawatir karena stok masih cukup. "Stok batu bara Suralaya saat ini masih aman yakni sekitar 800.000 ton atau masih cukup untuk kebutuhan 25 hari."

Meskipun proses tender tetap dilangsungkan, negosiasi dengan PTBA terus dilanjutkan untuk menghasilkan kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak. "Mereka mintanya Rp347.000 per ton. Sementara harga kita Rp327.000 per ton, atau kalau mau tambah maksimal Rp345.000 per ton."

Sumber : Indonesia Power akan tunjuk langsung pemasok batu bara

Batubara Ilegal Indonesia,[Ekonomi dan Keuangan], Pelita

Batubara Ilegal Indonesia Power Sulit Dilacak
[Ekonomi dan Keuangan]
Jakarta, Pelita



Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Emir Moeis berpendapat dugaan pembelian batubara ilegal oleh PT Indonesia Power (IP) selaku anak perusahaan PT PLN di bidang pembangkitan sulit dilacak karena sistemnya memang tidak jelas.


"Ketika IP kekurangan pasok terpaksa beli batubara dari pasar spot. Ini yang sulit dilacak dari mana. Jadi, sebagai perusahaan besar, saya tak yakin IP benar-benar membeli batubara ilegal secara sengaja," kata dia kepada Antara, di Jakarta, Sabtu (8/9).


Penegasan tersebut berkaitan dengan pemberitaan di sejumlah media massa bahwa PT IP diduga melakukan pembelian batubara ilegal, karena sejumlah perusahaan pemasoknya diketahui bukan yang direkomendasikan pemerintah.


Menurut Emir, IP dalam melakukan pembelian batubara tentu akan mendapatkan pengawasan ketat, termasuk kontrak pembelian batubara sebagai bahan bakar sejumlah PLTU yang dioperasikannya.


Meski IP sudah kontrak jangka panjang dengan perusahaan besar seperti PT BA, tetapi karena sistemnya kadang tidak jalan maka terpaksa membeli dari pasar spot. Hanya saja, masalahnya tidak ada pihak yang mengontrol kegiatan yang dilakukan mitra pemasok batubara bagi IP tersebut di lapangan.


"Kalau kemudian perusahaan tersebut mendapatkan batubara secara ilegal, tentunya hal itu sulit untuk dilacak oleh IP selaku pembeli, dan saya rasa itu bukan kesalahan IP lagi," kata Emir.


Belum adanya sistem kontrol dan mekanisme yang jelas mengenai kegiatan bisnis batubara selama ini, menurut Emir, ikut memicu aksi jual beli dan penambangan batubara ilegal atau yang dikenal dengan Penambangan Tanpa Izin (PETI). PETI itu masalah nasional dan harus diselesaikan oleh semua lini yang ada, terutama pemerintah daerah.


Lemahnya sistem pengusahaan batubara di Indonesia sebelumnya juga sudah diakui Irjen Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Endro Utomo. "Selama ini pemerintah hanya mengatakan jangan beli yang ilegal, tapi yang mana yang ilegal itu enggak jelas."

Batubara Indonesia (Indonesian Coal)

BATUBARA INDONESIA
1. PENDAHULUAN



Batubara merupakan batuan hidrokarbon padat yang terbentuk dari tetumbuhan dalam lingkungan bebas oksigen, serta terkena pengaruh tekanan dan panas yang berlangsung sangat lama. Proses pembentukan (coalification) memerlukan jutaan tahun, mulai dari awal pembentukan yang menghasilkan gambut, lignit, subbituminus, bituminous, dan akhirnya terbentuk antrasit.Di Indonesia, endapan batubara yang bernilai ekonomis terdapat di cekungan Tersier, yang terletak di bagian barat Paparan Sunda (termasuk Pulau Sumatera dan Kalimantan), pada umumnya endapan batubara tersebut tergolong usia muda, yang dapat dikelompokkan sebagai batubara berumur Tersier Bawah dan Tersier Atas.Potensi batubara di Indonesia sangat melimpah, terutama di Pulau Kalimantan dan Pulau Sumatera, sedangkan di daerah lainnya dapat dijumpai batubara walaupun dalam jumlah kecil, seperti di Jawa Barat, Jawa Tengah, Papua, dan Sulawesi.


Produksi batubara Indonesia diperkirakan akan terus meningkat; tidakhanya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri (domestik), tetapi juga untuk memenuhi permintaan luar negeri (ekspor). Hal ini mengingat sumber daya batubara Indonesia yang masih melimpah, di lain pihak harga BBM yang tetap tinggi, menuntut industri yang selama ini berbahan bakar minyak untuk beralih menggunakan batubara.

Adanya rencana pembangunan PLTU baru di dalam dan luar Pulau Jawa dengan total kapasitas
10.000 MW, meningkatnya produksi semen setiap tahun, dan semakin berkembangnya industri-industri lain seperti industri kertas (pulp) dan industri tekstil merupakan indikasi permintaan dalam negeri akan semakin meningkat. Demikian pula halnya dengan permintaan batubara dari negara-negara pengimpor mengakibatkan produksi akan semakin meningkat pula.

Terkait dengan hal tersebut, pemerintah mengeluarkan Kebijakan Energi Nasional (KEN) melalui PP No.5 Tahun 2006 sebagai pembaruan Kebijaksanaan Umum Bidang Energi (KUBE) tahun 1998. KEN mempunyai tujuan utama untuk menciptakan keamanan pasokan energi nasional secara berkelanjutan dan pemanfaatan energi secara efisien, serta terwujudnya bauran energi (energy mix) yang optimal pada tahun 2025. Untuk itu ketergantungan terhadap satu jenis sumber energi seperti BBM harus dikurangi dengan memanfaatkan sumber energi alternatif di antaranya batubara.

Untuk mendukung pencapaian sasaran bauran energi nasional yang dicanangkan pemerintah, salah satunya adalah melakukan kajian batubara secara nasional untuk mengetahui kondisi sumberdaya, pengusahaan, dan pemanfaatan batubara, serta permasalahannya, yang dapat digunakan untuk membuat langkah-langkah yang diperlukan. Dan untuk mendukung kajian tersebut perlu melakukan terlebih dahulu membangun data base batubara nasional dari hasil pengumpulan data baik sekunder maupun primer.


2. SUMBERDAYA
Jumlah sumber daya batubara Indonesia tahun 2005 berdasarkan perhitungan Pusat Sumber Daya Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral adalah sebesar 61,366 miliar ton.

Sumber : Pusat Sumber Daya Geologi, 2006


3. KEBIJAKAN
Dalam kebijakan bauran energi nasional 2025, pemakaian batubara diharapkan mencapai 33%, Pemerintah telah mengeluarkan peraturan yang digunakan sebagai landasan di dalam kebijakan pengusahaan batubara, yaitu :
1) Kepmen ESDM No.1128 Tahun 2004, tentang Kebijakan Batubara Nasional.
2) Perpres No.5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional.
3) Inpres No.2 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Batubara yang Dicairkan Sebagai Bahan Bakar Lain..

Di dalam sasaran bauran energi nasional tersebut, batubara menempati urutan pertama di dalam penggunaan energi. Hal tersebut dikarenakan oleh :
a) Sumber daya batubara cukup melimpah, yaitu 61,3 miliar ton, dengan cadangan 6,7 miliar ton (Pusat Sumber Daya Geologi, 2005).
b) Dapat digunakan langsung dalam bentuk padat, atau dikonversi menjadi gas (gasifikasi) dan cair (pencairan).
c) Harga batubara kompetitif dibandingkan energi lain.
d) Teknologi pemanfaatan batubara yang ramah lingkungan telah berkembang pesat, yang dikenal sebagai Teknologi Batubara Bersih (Clean Coal Technology).



4. PRODUKSI, KONSUMSI, DAN EKSPOR

4.1 Perkembangan Produksi
Perkembangan produksi batubara selama 13 tahun terakhir telah menunjukkan peningkatan yang cukup pesat, dengan kenaikan produksi rata-rata 15,68% pertahun. Pada tahun 1992, produksi batubara sudah mencapai 22,951 juta ton dan selanjutnya pada tahun 2005 produksi batubara nasional telah mencapai 151,594 juta ton.
Perusahaan pemegang PKP2B merupakan produsen batubara terbesar, yaitu sekitar 87,79 % dari jumlah produksi batubara Indonesia, diikuti oleh pemegang KP sebesar 6,52 % dan BUMN sebesar 5,68 %.


Perkembangan produksi batubara nasional tersebut tentunya tidak terlepas dari permintaan dalam negeri (domestik) dan luar negeri (ekspor) yang terus meningkat setiap tahunnya.
Sebagian besar produksi tersebut untuk memenuhi permintaan luar negeri, yaitu rata-rata 72,11%, dan sisanya 27,89% untuk memenuhi permintaan dalam negeri


4.2 Perkembangan Konsumsi Dalam Negeri
Pemanfaatan batubara di dalam negeri meliputi penggunaan di PLTU, industri semen, industri kertas, industri tekstil, industri metalurgi, dan industri lainnya.

4.2.1 PLTU
PLTU merupakan industri yang paling banyak menggunakan batubara. Tercatat dari seluruh konsumsi batubara dalam negeri pada tahun 2005 sebesar 35,342 juta ton, 71,11% di antaranya digunakan oleh PLTU. Hingga saat ini, PLTU berbahan bakar batubara, baik milk PLN maupun yang dikelola swasta, ada 9 PLTU, dengan total kapasitas saat ini sebesar 7.550 MW dan mengkonsumsi batubara sekitar 25,1 juta ton per tahun.


Berdasarkan data dalam kurun waktu 1998-2005, Penggunaan batubara di PLTU untuk setiap tahunnya meningkat rata-rata 13,00%. Hal tersebut sejalan dengan penambahan PLTU baru sebagai dampak permintaan listrik yang terus meningkat rata-rata 7,67% per tahun.
Namun demikian, sejak tahun 2003 krisis energi listrik nasional sudah mulai terasa sebagai dampak dari ketidakseimbangan antara penyediaan dan permintaan. Dalam upaya mengantisipasi kekurangan listrik dan untuk meningkatkan efisiensi pemakaian BBM secara nasional, pemerintah merencanakan percepatan pembangunan PLTU berbahan bakar listrik 10.000 MW hingga akhir 2009.


4.2.2 Industri Semen
Selama delapan tahun terakhir ini, perkembangan pemakaian batubara pada industri semen
berfluktuasi. Antara tahun 1998-2001, pemakaian batubara rata-rata naik sangat signifikan, yaitu 64,03%, namun pada tahun 2002 dan 2003 sempat mengalami penurunan hingga 7,59%.
Memasuki tahun 2004, kebutuhan batubara pada industri semen mengalami perubahan yang
positif, yaitu 19,78% seiring perkembangan ekonomi yang mulai membaik di dalam negeri. Tahun 2005, tercatat sekitar 17,04% kebutuhan batubara dalam negeri digunakan oleh industri semen atau 5,77 juta ton.

4.2.3 Industri Tekstil
Industri tekstil memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap bahan bakar minyak(BBM), oleh karena itu dengan melambungnya harga BBM, banyak yang beralih ke bahan bakar ke batubara, walaupun harus melakukan modifikasi terhadap boiler atau mengganti boiler yang
baru berbahan bakar batubara.
Pada tahun 2003 jumlah perusahaan tekstil yang menggunakan bahan bakar batubara hanya 18 perusahaan saja, namun pada tahun 2006 sudah bertambah menjadi 224 perusahaan tersebar di Pulau Jawa terutama di Propinsi Jawa Barat. Kebutuhan batubaranya pun meningkat sangat
signifikan, yaitu dari 274.150 ton pada tahun 2003 naik menjadi 3,07 juta ton pada tahun 2006.

4.2.4 Industri Kertas
Seperti halnya pada perusahaan tekstil, batubara dalam industri kertas digunakan sebagai bahan bakar dimana energi panas yang dihasilkan digunakan untuk memasak air pada boiler sehingga menghasilkan uap yang diperlukan untuk memasak pulp (bubur kertas).
Perkembangan pemakaian batubara pada industri kertas selama kurun waktu 1998-2005 naik sangat signifikan, rata-rata 42,36%. Namun untuk waktu mendatang diperkirakan
perkembangannya akan stabil pada kisaran 3,0 – 6,0 % per tahun.

Pada tahun 2005, jumlah kebutuhan batubara untuk industri ini mencapai sekitar 2,207 juta ton.

4.2.5 Industri Metalurgi dan Industri Lainnya
Perkembangan kebutuhan batubara oleh industri metalurgi berfluktuasi, namun ada trend
perkembangan yang meningkat sejalan dengan kondisi produksi perusahaan yang mengalami
turun naik. Tahun 1998 tercatat 144,907 ribu ton, meningkat hingga mencapai 236,802 ribu ton
pada tahun 2002, namun kemudian menurun hingga 112,827 ribu ton tahun 2005.
Di samping industri metalurgi, masih banyak industri lainnya yang menggunakan batubara sebagai bahan bakar dalam mendukung proses produksinya, antara lain industri makanan, kimia, pengecoran logam, karet ban, dan lainnya. Di Propinsi Banten dan Jawa Barat ada 21 perusahaan yang telah menggunakan batubara dengan total kebutuhan diperkirakan mencapai
416.708 ton untuk tahun 2005.

4.2.6 Briket Batubara
Dari data tahun 1998 – 2005, perkembangan briket batubara berfluktuatif, namun cenderung ada peningkatan. Konsumsi terendah sebesar 23.506 ton pada tahun 2004 dan tertinggi pada
mencapai 38.302 ton tahun 1999. Pada sisi lain potensi konsumsi BBM yang dapat disubstitusi briket batubara untuk IKM dan rumahtangga sebesar 12,32 juta ton, dan jumlah optimisnya sebesar 1,3 juta ton per tahun atau ekivalen dengan 936.000 kilo liter minyak tanah per tahun. Kondisi pasar akan menentukan bagaimana prospek perbriketan batubara di Indonesia sebagai bahan alternative substitusi minyak tanah khususnya, bersama-masa dengan energi alternative lainnya seperti bahan bakar nabati (biofuel) dan LPG.

4.2.7 Upgrading Brown Coal, Gasifikasi, dan Pencairan Batubara
Terkait dengan upaya ketahanan bauran energi nasional, adalah pengembangan teknologi
batubara, dimana skala pilot plantnya dikembangkan oleh Puslitbang Teknologi Mineral dan
Batubara (tekMIRA) meliputi antara lain upgrading brown coal (UBC), gasifikasi, dan pencairan
batubara. Direncanakan tidak lama lagi akan dirintis ke arah demo plant sebelum skala komersialisasi.


4.3 Perkembangan Ekspor
Kebutuhan batubara dunia saat ini ternyata meningkat sangat cepat, antara lain dipicu oleh
booming harga dan semakin banyaknya pembangunan PLTU di luar negeri yang menggunakan
bahan bakar batubara, serta kran ekspor China ditutup. Hal ini yang mengantarkan Indonesia
sebagai pemasok (eksportir) terbesar pada tahun ini menyaingi Australia dan Afrika Selatan.
Ekspor batubara Indonesia pada tahun 1992 hanya sebesar 16,288 juta ton, sedangkan pada
tahun 2005 tercatat sebesar 106,767 juta ton. Ini berarti volume ekspor rata-rata naik sebesar
16,00%. Perusahaan pemegang PKP2B merupakan eksportir batubara terbesar, yaitu sekitar 95,36% dari jumlah ekspor batubara Indonesia, diikuti oleh pemegang BUMN sebesar 2,52% dan KP sebesar 2,12%.



5. MASA DEPAN
Pada masa mendatang, produksi batubara Indonesia diperkirakan akan terus meningkat; tidak
hanya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri (domestik), tetapi juga untuk memenuhi
permintaan luar negeri (ekspor). Hal ini mengingat sumber daya batubara Indonesia yang masih
melimpah, di lain pihak harga BBM yang tetap tinggi, menuntut industri yang selama ini berbahan bakar minyak untuk beralih menggunakan batubara.

5.1 Proyeksi Penyediaan-Permintaan (Supply-Demand)
Produksi batubara nasional terus mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Pada tahun
1992 tercatat sebesar 22,951 juta ton, naik menjadi 151,594 juta ton pada tahun 2005, atau naik rata-rata 15,68 % per tahun. Jika diasumsikan proyeksi untuk tahun-tahun mendatang mengikuti kecenderungan (trend) tersebut di atas, maka kondisi pada tahun 2025, produksi akan meningkat menjadi sekitar 628 juta ton.

Dari sisi konsumsi, hingga saat ini segmen pasar batubara di dalam negeri meliputi PLTU, industri semen, industri menengah hingga industri kecil dan rumahtangga. Dalam kurun waktu 1998-2005, konsumsi batubara di dalam negeri berkembang 13,29%. Kondisi saat ini (2005) konsumsi batubara tercatat 35,342 juta ton, di antaranya, 71,11% dikonsumsi PLTU, 16,84%dikonsumsi industri semen, dan 6,43% dikonsimsi industri kertas. Dari karakteristik tersebut dan adanya rencana pemanfaatan batubara melalui pengembangan teknologi UBC, gasifikasi, dan pencairan, maka diproyeksikan pada tahun 2025 kebutuhan batubara dalam negeri akan mencapai sekitar 191,130 juta ton.

Sedangkan dari trend ekspor batubara yang peningkatannya sangat signifikan sekitar 16,00% pertahun, maka pada tahun 2025 diproyeksikan akan mencapai 438 juta ton.
Kondisi tersebut tidak diharapkan, karena tidak sejalan dengan rencana pengembangan
batubara Indonesia. Untuk tahun 2025, jumlah rencana produksi sebesar 318 miliar ton untuk
memenuhi kebutuhan dalam negeri sebesar 214 miliar ton dan untuk memenuhi permintaan luar negeri sebesar 104 miliar ton.

Kunci perbedaan dari kedua proyeksi tersebut terletak pada penjualan ke luar negeri. Sehingga agar rencana pengembangan batubara Indonesia dapat terealisasi, maka perlu membuat kebijakan pengendalian produksi melalui pembatasan penjualan ke luar negeri dan jaminan pasokan untuk kebutuhan dalam negeri yang tercantum di dalam kontrak harus dilaksanakan.


5.2 Langkah-Langkah Yang Diperlukan
Dari hasil trend suppy-demand batubara nasional maka untuk memberikan dukungan terkait
dengan pengembangan batubara dalam mencapai bauran energi pada tahun 2025 lebih besar
dari 33% (214 juta ton), diperlukan langkah-langkah strategis meliputi :

a Sumber daya
Melakukan upaya pencarian (inventarisasi) sumber daya dan cadangan batubara yang
representatif dan secara berkelanjutan.

b. Pengusahaan
  • Pendataan kontrak (jangka panjang, menengah, pendek, spot) perusahaan dengan
    konsumen luar negeri. Kemudian pelaku eksportir ditata secara konprehensif dan
    proporsional berdasarkan tingkat produksi dan kondisi kebutuhan di dalam negeri.
  • Setiap pengajuan peningkatan tingkat produksi yang diajukan oleh perusahaan perlu
    disesuaikan dengan kebijakan bauran energi nasional.

c. Kebijakan/ Insentif

  • Menetapkan batubara sebagai komoditi strategis.
  • Mengubah komposisi penjualan dalam negeri dan ekspor yang saat ini 28 : 72, secara
    bertahap hingga tercapai komposisi yang ideal sampai tahun 2025.
  • Mendorong pengusahaan batubara peringkat rendah di dalam negeri untuk memenuhi
    kebutuhan energi melalui paket insentif, seperti penentuan tarif nilai bagi hasil (PKP2B)
    untuk batubara mutu rendah.
  • Meningkatkan diversifikasi pemanfaatan batubara melalui program pembakaran
    langsung, pengembangan briket batubara, pencairan batubara, gasifikasi, up grading
    batubara, dan pengembangan Coal Bed Methane, dengan memperhatikan faktor
    lingkungan.
  • Memberikan insentif bagi investor (penambangan dan pengolahan) yang
    mengembangkan UBC, pencairan, dan gasifikasi batubara, antara lain jaminan hasil
    produk dibeli oleh pihak pemerintah.
  • Menetapkan nilai bagi hasil bagian pemerintah dari penambangan batubara mutu
    rendah dan tambang bawah tanah.

d. Insfrastruktur

  • Untuk menunjang kelancaran distribusi batubara dari hulu hingga hilir perlu membangun
    dan mengembangkan prasarana transportasi seperti jaringan kereta api dan pelabuhan
    bongkar muat.
  • Mengembangkan pelabuhan bongkar, sarana angkutan, dan jalur distribusi, serta stock
    yard batubara yang dekat dengan sentra industri (konsumen) di wilayah Pulau Jawa yang
    merupakan konsumen terbesar di dalam negeri.

Dikompilasi oleh
Tim Kajian Batubara Nasional
Kelompok Kajian Kebijakan Mineral dan Batubara
Pusat Litbang Teknologi Mineral dan Batubara
2006